Pada tahun 2013 saya masih duduk di bangku kelas 8 Sekolah Menengah Pertama. Masih pada tahun yang sama, Kurikulum baru diperkenalkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (sekarang berganti menjadi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi) dengan Anies Baswedan yang menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan waktu itu. Kurikulum yang kelak kita kenal sebagai Kurikulum 2013. Kurikulum 2013 ini waktu itu direncanakan akan menggantikan kurikulum yang sebelumnya berlaku, yakni Kurikulum 2006 alias Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang telah berlaku selama 6 tahun.
Penerapan Kurikulum 2013 waktu itu bukan tanpa kontroversi. Saking banyaknya pro-kontra yang ditimbulkan, Kompas dalam salah satu artikelnya menyebut Kurikulum 2013 seperti lahir untuk menuai kontroversi.1 Tidak sedikit yang menyoroti perubahan kurikulum dari KTSP ke Kurikulum 2013 yang dinilai terlalu terburu-buru sehingga kurangnya kesiapan guru dan sekolah. Namun, yang menurut saya ironis adalah saat di tengah-tengah masa transisi, ketika sekolah, guru, dan siswa mencoba beradaptasi dengan sistem kurikulum yang sangatlah berbeda dengan Kurikulum 2006, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan waktu itu, Anies Baswedan tiba-tiba mengumumkan bahwa penerapan Kurikulum 2013 ditunda untuk sementara dan kurikulum yang sejatinya akan digantikan oleh Kurikulum 2013 itu kembali diberlakukan. Penundaan Kurikulum 2013 ini terjadi tepat di tengah-tengah semester.2 Kebijakan yang sangat mendadak tersebut tentunya membuat repo tidak hanya guru, melainkan sekolah, peserta didik, dan orangtua peserta didik menjadi. Perbedaan yang besar antara Kurikulum 2013 dengan kurikulum pendahulunya yaitu Kurikulum 2006, membuat penundaan pergantian kurikulum menjadi PR yang besar. Sekolah harus merombak sistem penilaian, guru harus menyesuaikan kembali rencana mengajar dan cara mengajar, peserta didik harus kembali melakukan penyesuaian, dan orangtua peserta didik harus membeli lagi buku pelajaran.
Sejarah Kurikulum di Indonesia
Melihat dari sejarah, Indonesia sendiri telah berganti-ganti kurikulum sejak tahun 1947. Sejak itu, Indonesia telah mengganri kurikulum setidaknya sebanyak 10 kali.2 Rentang pergantian kurikulum juga sangat beragam, misalnya ada kurikulum yang berganti dalam waktu lima tahun hingga sembilan tahun. Rentang waktu itu tentunya tidak bisa dibilang lama. Apalagi jika dibandingkan dengan negara lain di Asia seperti Jepang yang hanya berganti kurikulum minimal dalam rentang waktu 9 tahun.
Sejak tahun 1947, pergantian kurikulum pertama dimulai dengan nama “Rencana Pembelajaran” yang kemudian berganti nama menjadi “Rencana Pembelajaran Terurai” pada 1953. Kemudian muncul kurikulum Rencana Pendidikan pada 1964 dan Kurikulum 1968. Selanjutnya, secara berturut-turut adalah Kurikulum 1975, Kurikulum 1984, Kurikulum 1999, Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) atau yang dikenal sebagai Kurikulum 2004, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), dan Kurikulum 2013. Kemudian pada 2014, kurikulum Indonesia kembali lagi ke Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang rencananya akan digantikan oleh Kurikulum 2013, Hingga pada akhirnya Kurikulum 2013 kembali diterapkan sepenuhnya pada 2015 di era kepemimpinan Muhadjir Effendy sebagai Menteri Pendidikan waktu itu.
Hal yang menarik adalah Kurikulum 1975 yang telah berusia lebih dari 40 tahun masih digunakan sebagai landasan dalam perancangan kurikulum-kurikulum setelahnya. Setidaknya begitulah menurut Mohammad Abduhzen, seorang pengamat pendidikan melihatnya. Ia menilai Kurikulum 1975 yang memiliki hierarki serta tujuan yang jelas dan sistematislah yang menjadi alasan Kurikulum usang tersebut masih dijadikan acuan sampai sekarang.
Bentuk Pencarian Jati Diri?
Masih menurut Abduh, terus bergantinya kurikulum merupakan bentuk pencarian jati diri pendidikan Indonesia. Sebab, memang belum ada kurikulum yang sempurna hingga saat ini. Sedangkan Anzar Abdullah dalam artikelnya di jurnal Pendidikan dan Kebudayaan yang berjudul “Kurikulum Pendidikan di Indonesia Sepanjang Sejarah (suatu Tinjauan Kritis Filosofis) melihat fenomena gonta-ganti kurikulum ini disebabkan praktek pendidikan di Indonesia yang tidak pernah lepas dari metode uji coba kebijaksanaan di bidang pendidikan yang membuat kurikulum yang seharusnya tidak mudah berubah menjadi begitu mudah berubah dalam sekejap.3
Sedangkan Muhammad Asri dari Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta dalam artikelnya berjudul “Dinamika Kurikulum di Indonesia: yang terbit di jurnal Modeling menyebut tidak adanya acuan baku sebagai referensi terutama dalam proses revisi menjadi penyebab kurikulum di Indonesia yang berganti-ganti dalam waktu yang singkat.4 Pendidikan di Indonesia tidak memiliki acuan dsar sebagai referensi yang mencakup akses revisi oleh otoritas dikarenakan dunia pendidikan yang terus berkembang. Oleh karena itu, segala hal yang berkaitan dengan pendidikan termasuk dalam hal ini adalah kurikulum, tidak memiliki acuan dasar sama sekali.
Refleksi Pendidikan di Indonesia
Menurut saya sendiri, pergantian kurikulum dalam rentang waktu yang singkat adalah hal yang biasa. Apalagi bagi negara berkembang seperti Indonesia. Mungkin fenomena “ganti menteri ganti kurikulum” ini bisa dilihat sebagai bentuk pencarian jati diri pendidikan Indonesia? Namun begitu, perancangan kurikulum menurut saya harus dibuat secara matang dengan melihat kemungkinan-kemungkinan di masa depan. Dengan kata lain, pembuatan kurikulum harus bertujuan pada jangka panjang.
Pandemi COVID-19 yang turut mengubah pola pendidikan di dunia dan tak terkecuali di Indonesia misalnya menurut saya turut menelanjangi Kurikulum 2013 dengan menunjukkan bagaimana Kurikulum 2013 yang sekarang berlaku tidak dirancang dengan pola pikir jangka panjang, tanpa mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan yang ada. Kurikulum 2013 yang dirancang dengan asumsi proses pendidikan dilakukan di dalam kelas dengan bertatap muka secara langsung, langsung terlihat tidak berdaya saat pandemi membuat alur kerja pembelajaran yang sebelumnya berlangsung tatap muka menjadi daring.
Hal itu membuat Nadiem Makarim, pendiri dan mantan CEO Gojek yang sekarang menjabat sebagai Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi itu mengumumkan wacana kurikulum baru yang disebut kurikulum prototype yang kemudian berganti nama menjadi Kurikulum Merdeka. Apakah kurikulum ini akan bernasib serupa dengan kurikulum-kurikulum sebelumnya yang hanya berumur pendek? Hanya waktu yang bisa menjawab.
Media, K. C. (2014, Desember 12). Kurikulum dan Pertimbangan yang Tak Terungkap Halaman all. KOMPAS.com. https://web.archive.org/web/20220407091632/https://nasional.kompas.com/read/2014/12/12/12280881/Kurikulum.dan.Pertimbangan.yang.Tak.Terungkap ↩︎
Pramisti, N. Q. (t.t.). Mengakhiri Kutukan “Ganti Menteri Ganti Kurikulum.” tirto.id. Diambil 7 April 2022, dari https://tirto.id/mengakhiri-kutukan-ganti-menteri-ganti-kurikulum-bwqv ↩︎ ↩︎
Abdullah, Anzar. “Kurikulum Pendidikan di Indonesia Sepanjang Sejarah (suatu Tinjauan Kritis Filosofis).” Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, vol. 13, no. 66, 2007, pp. 340-361, doi:10.24832/jpnk.v13i66.354. ↩︎
Asri, M. (2017). Dinamika Kurikulum di Indonesia. MODELING: Jurnal Program Studi PGMI, 4(2), 192–202. ↩︎